Senin, 12 April 2010
Jiwa Yang Menolak Patah
Ia Tidak Berhenti, Karena Cinta Ternyata di Sekelilingnya
Laki-laki itu pejabat tinggi suatu perusahaan swasta, berusia 40-an, belum menikah.
Beberapa tahun lalu, ia menuturkan kisah hidupnya yang paling rahasia dalam sebuah harian nasional, demi berbagi dengan seorang yang tertimpa pengalaman buruk mirip yang pernah ia alami. Laki-laki itu membaca dalam rubrik konsultasi, tentang anak muda yang merasa dirinya kotor dan hidupnya berakhir, karena menjadi korban pelecehan seksual temannya sendiri.
Ternyata, laki-laki 40-an tahun itu, semasa SD, pernah diperlakukan sama. Saat itu ia tengah berwisata di pantai bersama guru dan teman-teman sekolahnya. Tiba-tiba ia dipanggil beberapa kakak kelas. Ia menduga akan diajak bermain bersama. Ternyata, di tempat yang jauh dari keramaian, ia mengalami pelecehan seksual, di bawah todongan pisau. Ia sangat terpukul, hingga menangis terus dan mengubur diri di dalam pasir. Sampai sore datang, dan guru serta teman-teman lain yang mencarinya, menemukannya masih di dalam pasir, gemetar.
Bertahun-tahun ia mencoba melupakan peristiwa tragis itu. Ada masa di mana ia merasa sangat membenci para pelaku, yang masih kanak-kanak itu. Ada masa ia merasa tidak sanggup melihat orang lain. Namun pada akhirnya ia mencoba sesuatu yang amat sulit, memaafkan. Satu kata yang terus ia ucapkan hingga dewasa, "maafkan, maafkan." Ia menduga, mereka pun punya masa lalu yang kelam, boleh jadi mereka sebelumnya pernah pula menjadi korban.
Ternyata itulah yang menjadi titik balik ia membuka hatinya untuk melihat sisi lain dunianya. Sebelum "terbangun", ia tidak mampu membuka dirinya untuk orang-orang terdekat, untuk orang tuanya, untuk adik dan kakaknya yang kesemuanya sudah menikah. Hingga dewasa, ia amat penuh dengan laranya sendiri, dan kehilangan waktu untuk peduli pada lingkungannya. Ia tenggelam dalam dunia kerja, menghasilkan uang berlimpah, yang tak kunjung membuatnya "sembuh".
Kemudian, sewaktu ia memberi perhatian dan kasih sayang pada keluarganya, terutama pada para keponakannya, ia menemukan mutiara cinta ternyata ada di mana-mana. Kini, setiap ia datang ke rumah saudara-saudaranya, anak-anak mereka menyambutnya dengan kegembiraan yang polos. Di sanalah, ia merasa bisa berlabuh, menemukan kebahagiaannya, menemukan kesembuhannya. Malah, oleh keluarganya, ia dijadikan "kepala" keluarga, termasuk oleh ayah ibunya. Ternyata, mereka telah lama memendam cinta untuknya. Laki-laki itu pun tidak kalah, jiwanya menolak untuk patah, karena cinta ternyata ada di sekelilingnya.
Ia tidak Berhenti, Karena Memilih Tegak Meski Tertatih-tatih
Betapa kerasnya kehidupan di ibukota. Ini tidak dipungkiri siapa pun. Namun, di Jakarta pula, kita bisa menemukan manusia-manusia yang mampu tegak, meski hidupnya diselang-selingi "kejutan" yang tak nyaman. Di halte pasar di bilangan Tebet Timur, Jakarta Selatan, misalnya. Sepasang suami istri sejak belasan tahun berdiam di kios rokok dan minuman dingin yang sekaligus dijadikan tempat tinggalnya.
Modal yang seadanya, masih harus menanggung hutang para awak bus yang kerap mangkal di sana. Mereka pun masih harus membayar berbagai pungutan demi keamanan. Termasuk ke pejabat lokal, demi perijinan. Semua itu, bahkan sudah dijalani sang istri sejak ibunya masih hidup. Ia dibawa ibunya merantau ke Jakarta sejak kanak-kanak. Dan, kios itu adalah warisan ibunya, sebelum wafat. "Jenazah si Mbok kami bawa ke desa, di sana kan ada kuburan desa. Biaya merawatnya lebih murah. Kalau di sini mahal, nggak sanggup bayar," tuturnya.
Siang itu, percakapan rutin terdengar di halte. "Kapan utangnya dibayar? Udah banyak nih, udah 30 ribu," tutur sang istri pada seorang supir, yang tengah memarkir busnya di depan halte. Sang awak nampak terkejut, seolah tak percaya. "Masak sebanyak itu?" Perempuan itu melanjutkan, "Ini ada catatannya." Suaminya, yang tengah beristirahat di dalam kios, terbangun dan membenarkan istrinya. "Yah, nanti dibayar," itulah akhirnya jawaban sang awak bus. "Kalau begini terus, modalnya bisa habis," ujar perempuan itu perlahan.
Meski sehari-hari harus hidup amat prihatin, namun seperti diakui perempuan itu, ia merasa masih mampu bertahan. "Memang pemasukan sedikit sekali, kami sering terpaksa makan apa adanya, tapi kami masih bisa bertahan. Di kota besar kayak Jakarta, itu sudah bagus kok," ujar sang istri.
Demikianlah. Meski tersendat-sendat, mereka sudah memilih.
Ia Tidak Berhenti, Karena Harus Menjadi Pelita Lingkungan
Boleh jadi, pilihan untuk tidak berhenti, didesak pula oleh lingkungan. Namun, tidak semua orang menyambut desakan ini. Waras Soebroto, penduduk desa Kedung Rejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, adalah orang yang mengambil desakan ini. Hasilnya, ia melangkah terus, dan memberi arti positif buat lingkungannya.
Waras sudah bekerja selama belasan tahun sebagai petugas pengawas hutan lindung. Setiap bulan, ia hanya dibayar 3000 (tiga ribu) rupiah. Ia amat prihatin dengan kondisi suaka alam di Banyuwangi, yang dijarah para penebang liar. Inilah awal mulanya Waras merasa harus melakukan sesuatu: total melindungi suaka alam dengan segala kemampuannya, dengan semua waktu yang ia punya. Termasuk "memerangi" penebangan liar. Resikonya, ia sering menghadapi ancaman dari penebang liar dan pencuri kayu, bahkan kerap diisukan akan diguna-guna.
Meski begitu, Waras tidak mundur. Ia merasa tidak boleh mundur, karena lingkungannya akan tambah hancur jika ia memilih jalan itu. Secara kontinyu Waras malah mencoba meyakinkan masyarakat, tentang pentingnya menjaga suaka alam. Ia terus membangun kesadaran kolektif. Tidak tanggung-tanggung, Waras akhirnya berhasil mengamankan 6 lokasi suaka alam di daerah Banyuwangi.
Pilihan serupa diambil pula La Ode Muhammad. Ia hanyalah satu dari banyak penduduk Desa Wantimoro, Kecamatan Kabawo, Muna, Sulawesi Tenggara. Mulanya, La Ode bersama warga Suku Bajo di kampung Wantimoro tinggal di laut, di atas perahu bido. Suku Bajo memang menjadikan laut sebagai sumber pencaharian, bahkan sebagai tempat berkelana. Namun, kehidupan mereka lama-kelamaan terjepit, akibat potensi ikan makin merosot.
Dalam situasi ini, kekhawatiran soal masa depan menghinggapi mereka. Hingga La Ode tersadar, ia mesti melakukan sesuatu. Lantas, ia mengajak suku Bajo untuk menetap di darat dan bertani dengan pola sanitasi. Mereka berhasil. Ratusan kepala keluarga telah mengubah pola hidupnya, dan mereka mampu bertahan, bahkan tingkat ekonominya terus membaik. Warga menganggap La Ode Muhammad sebagai pelita lingkungannya. Bagi La Ode dan Waras, mereka tidak kalah justru karena lingkungannya.
Ia Tidak Berhenti, Karena Ia Punya Mimpi
Namanya Az Zamakhsyari. Ia seorang ulama terkenal, ahli dalam banyak ilmu pengetahuan agama. Namun, ia lebih terkenal sebagai tokoh ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab). Menjadi ahli dalam ilmu bahasa bagi Az Zamakhsyari adalah keberhasilan yang boleh dibilang sebagai prestasi dan kesuksesan luar biasa dalam menghadapi rintangan. Betapa tidak, sejak kecil ia telah mempelajari ilmu nahwu, tetapi hingga menginjak remaja ia tak kunjung paham dengan ilmu yang dipelajarinya.
Bayangkan, selama bertahun-tahun belajar untuk membedakan antara subyek (mubtada) dan obyek (khabar) saja ia tidak bisa. Sementara teman-temannya, hampir semuanya telah mengusai ilmu itu. Bahkan ada di antara mereka yang diberi tugas untuk mengajar adik-adik kelas mereka.
Kenyataan ini nyaris membuat Az Zamakhsyari putus asa. Ia merasa malu dengan usianya yang semakin tua tetapi belum tahu apa-apa, apalagi ia harus duduk dan belajar bersama anak-anak yang jauh di bawah usianya. Di tengah kegalauannya ia berniat meninggalkan sekolah, pergi merantau untuk mencari ilmu di tempat lain.
Setelah cukup jauh berjalan, ia mampir berteduh di sebuah rumah. Ketika sedang beristirahat sambil menyandarkan punggungnya di tembok, ia melihat seekor semut kecil sedang menggigit sisa kulit korma. Semut itu berusaha menarik kulit korma yang ukurannya lima kali lipat lebih besar dari tubuhnya, ke lubang di tembok itu. Berkalikali ia melakukannya namun selalu gagal, kulit korma selalu jatuh ke tanah. Az Zamakhsyari terpaku melihat kelakuan semut itu, yang mempunyai keuletan mengagumkan.
Setelah berkali-kali gagal, ternyata sang semut berhasil membawa naik kulit korma itu. Saat itu muncullah pemikiran dalam benak Az Zamakhsyari, "Seandainya aku melakukan seperti yang dilakukan semut ini niscaya aku juga akan berhasil." Setelah mengucapkan itu, ia memutuskan kembali ke sekolahnya dan membatalkan niatnya untuk merantau. Hasilnya, Az Zamakhsyari benar-benar meraih impiannya. Ia menguasai ilmunya sedemikian rupa. Bahkan, ia menjadi tokoh nahwu yang sangat disegani.
Mimpi dan cita-cita, yang di dalamnya termaktub tekad, semangat dan kerja, memang seringkali membuat orang tidak mau berhenti. Bahkan, seekor semut pun, menghayati semangat ini. Apatah lagi, kita, manusia.
Ia Tidak Berhenti, Karena Batinnya Kaya
Seorang perempuan kurus berkulit gelap tampak duduk di depan "rumahnya" di sebuah pojok Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Dari cangkir plastik yang tak lagi bersih, ia menikmati betul seruputan demi seruputan kopi hangat. "Rumah" perempuan itu hanya susunan papan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berasal dari kotak kayu yang biasa ditemukan di pasar, ada pula yang memanjang. Bagian yang menjadi atap rumah ditutupi selembar terpal warna biru untuk menghalangi kucuran air saat hujan datang. Antara atap dan lantai hanya ada jarak satu meter. Karenanya, setiap kali keluar masuk "rumahnya" perempuan itu harus membungkuk-bungkuk.
Di ambang pintu yang rendah, sebuah papan penggilasan pakaian dipasang sebagai jembatan. Di bawahnya, selokan kecil meliuk mengalirkan air berwarna hitam kehijauan. Dalam keterbatasan ruang di halaman yang lebarnya hanya setengah meter, ia tampak berusaha mempercantiknya dengan lima pot tanaman yang terbuat dari bekas wadah cat tembok. Kelimanya diatur berjajar memanjang. Jadilah gerbang. Sayangnya, daun-daun tanaman dalam pot itu nyaris habis dipatuki ayam peliharaannya yang tak banyak jumlahnya.
Maryati, nama perempuan itu. Wajahnya sudah berkerut-kerut meski usianya belum genap 40 tahun. "Saya sudah 25 tahun tinggal di sini," katanya sambil menyebut usianya sendiri, 37 tahun. Ia tinggal bersama suaminya. Karena sempit, Maryati hampir setiap malam tidur di luar rumah. Beralaskan karung dan selembar kain. Kadang tidur di "halaman" dan kadang tidur di atas tumpukan rangka besi besar di samping "rumah".
"Syukurlah ada besi-besi itu. Kalau air sungai meluap ya cukup terlindungilah, enggak hanyut," kata Maryati. Meski harus tinggal di "rumah" sempit di lokasi yang tak sewajarnya, dalam setiap pembicaraannya Maryati selalu mengucap syukur. "Alhamdulillah, saya masih punya rumah. Kalau enggak di sini, mau di mana lagi? Di kampung saya di Indramayu saja masih tinggal di rumah saudara," katanya. "Maklumlah, orang kecil," lanjutnya.
Untuk hidup sehari-hari, Maryati berjualan sayur di dekat terowongan Manggarai. Setiap bulan ia mengirim sedikit uang untuk dua anaknya di kampung. Sekali dalam dua hari, Maryati biasa pergi ke Pasar Induk Kramat Jati atau Pasar Minggu. "Beli cabai, tomat, sayur juga," katanya. Namanya berjualan, risiko rugi sudah sangat dia pahami tanpa mengeluh. "Nggak apa-apa kalau rugi, udah risiko," begitu ia menyebut.
Penghasilannya yang minim masih harus dikurangi untuk biaya hidup rutin yang tak bisa dia hindari, misalnya untuk mandi, mencuci, dan buang hajat di WC umum. "Kami mandi bayar di kamar mandi umum, air juga harus beli," ujar Maryati, yang lagi-lagi mengucapkan syukur sewaktu menceritakan ada penghasilan tambahan selain berjualan sayur.
Meski hidup serba prihatin dan mesti menghadapi berbagai situasi yang tidak nyaman, Maryati tak goyah. Ia tetap tinggal di gubuk kecilnya. Tetap berjalan terus mencari nafkah, bahkan tetap berbagi rejeki dengan keluarganya di desa. Keyakinannya, kalau memelihara waktu-waktu shalat ia akan selalu aman. "Kalau kita shalat lima waktu, pasti aman deh," katanya sambil tersenyum.
Melihat Maryati, kita serasa melihat potret kekayaan batin. Ini adalah kekayaan hakiki, yang membuat manusia tidak patah, tidak kalah. Sampai kapan pun. Wallahu’alam
Sumber:www.beranda.blogsome.com
Rabu, 31 Maret 2010
Lelaki Andalus dan gajah
Nama lelaki itu mudah dikenal, Yahya ibnu Yahya. Nun jauh dari Andalusia ia berasal. Ia pergi menuntut ilmu ke Madinah. Berguru pada Imam Malik. Andalusia-Madinah adalah jarak yang teramat jauh. Terlebih dengan sarana transportasi apa adanya di masa itu. Tetapi Yahya bin Yahya adalah salah satu contoh terbaik tentang bagaimana kehendak seorang muslim untuk tidak pernah berhenti menjadi berarti.
Hari-hari menimba ilmu pun ia lalui di Madinah yang tenang. Di hadapan sang guru Imam Malik. Hingga suatu hari, saat tengah berada di majelis bersama murid-murid yang lain, tiba-tiba ada rombongan orang-orang entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab, makhluk besar berbelalai itu saat itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majelis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. "Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?" tanya Imam Malik. Yahya menjawab, "Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah." Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).
Lelaki berakal, Yahya bin Yahya telah meletakkan prinsip mendasar di atas jalan hidupnya. Ia mengerti sedang di jalan apa berlalu dan ke arah mana menuju. Ia seperti tengah menegaskan, betapa ia tidak boleh berhenti, di jalur kehendak dan cita-citanya, oleh sesuatu yang sederhana. Sekiranya ia sejenak keluar, melihat gajah bersama teman-temannya, itu pun tak jadi soal besar. Toh Imam Malik sejenak tidak melanjutkan pelajarannya, sebab semua murid-muridnya keluar. Tetapi filosofi luhur di balik sikapnya itu, mencerminkan sebuah kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim memahami godaan-godaan konsistensi, yang kadang menghentikan dan menghempaskan. Betapa ia tidak boleh terhenti oleh godaan-godaan itu. Maka lelaki itu benar-benar layak disebut ‘aqilu Andalus.
Betapa sering perjalan hidup kita terhenti. Bahkan oleh hal-hal yang tidak terlalu serius. Betapa banyak orang berhenti dari mengejar cita-cita, kehendak mulia, mimpi-mimpi fantastik dalam capaian prestasi, hanya lantaran keteledoran, hanya karena ulah menyimpang yang mulanya hanya iseng-iseng belaka, atau mental ‘nanti dulu’, atau sikap ’sebentar dulu’. Akhirnya lama kelamaan jiwanya mulai layu, semangatnya mulai redup. Gairah berkaryanya semakin kering. Akhirnya ia pun terhenti dari segala harapan yang telah menanti di ujung kerja kerasnya.
Gelar ‘aqilu Andalus, lelaki berakal dari Andalus menegaskan soal lain, bahwa kehendak kuat untuk tidak berhenti, atau terhenti, membutuhkan kalkulasi keyakinan yang kuat. Ini tidak sekadar ukuran rasional untung atau rugi. Ini juga benar-benar bukan soal selera suka atau tidak suka melihat gajah. Tapi ini sungguh-sungguh benar soal pemahaman kemengertian, kesadaran dan juga kedalaman penghayatan tentang keputusan apa yang harus diambil seorang muslim di saat-saat ia tergoda.
Begitulah seorang muslim semestinya menata jalan cita-citanya. Semua orang punya harapan-harapannya. Tinggi atau rendah. Jauh atau dekat. Serius atau main-main. Tetapi menjadi seorang muslim yang tak mengenal kata henti dalam berjalan, berusaha, berkarya, adalah pilihan keimanan untuk tujuan nun jauh di akhirat sana. Sebab di atas arah jalan itu hidup seorang muslim menjadi punya arti.
Dalam kehidupan para salafussalih, keberartian tidak diperoleh dalam waktu yang singkat. Tidak pula dengan usaha yang setengah-setengah. Orang-orang besar di dalam tarikh umat Islam yang gemilang, menjadi besar karena mereka tidak pernah lelah menabung untuk investasi keberartiannya, hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik. Imam Bukhari setiap malam bisa terbangun hingga dua puluh kali, untuk menuliskan hadits-hadits yang dihafalnya. Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi berarti. Maka kini ia memetik jerih payah itu. Ia menjadi maha guru ahli hadits sepanjang masa.
Begitupun orang-orang lain seperti Imam Nawawi. Bila seluruh usianya dibagi dengan karya tulisnya, maka setiap hari ia akan menulis tidak kurang dari enam belas halaman manuskrip. Bila diurai menjadi buku-buku masa kini setiap halaman manuskrip itu bisa menjadi berlembar-lembar halaman. Begitu juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama besar pengurai Shahih Bukhari, ia menghabiskan seperempat abad usianya untuk menulis karya monumentalnya, Fathul Bari.
Begitulah orang-orang besar menjadi besar karena ia tidak pernah berhenti menginvestasikan untuk dirinya karya kebajikan. Sebagaimana orang-orang jahat, orang-orang kejam, akan terkenang sepanjang masa, karena ia juga menginvestaikan untuk dirinya kekejian dan kekejaman.
Jangan pernah berhenti, sebelum hidup kita punya arti. Sepanjang perjalanan, sejak kita beranjak dewasa, sejujurnya kita telah mengerti apa itu tujuan akhir, cita-cita puncak, dan mimpi-mimpi terjauh kita untuk menjadi sesuatu. Tetapi tidak jarang kita terhempas, kita terlena, dan kemudian berhenti di tengah jalan. Padahal hidup bagi seorang mukmin, semestinya adalah proses menjadi baik tanpa kenal putus.
Di dalam Al-Qur’an, sebuah siklus menjadi baik dijelaskan dengan indah oleh Allah dengan pendekatan usia. Bahwa pada mulanya manusia hanyalah seorang bayi. Lalu tumbuh dewasa, lalu bila Allah memberi umur panjang, ia bisa melewati umur empat puluh tahun. Tetapi semua tahapan usia itu harus menjadi sebuah siklus keshalihan.
Allah swt berfirman, "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak-anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 17).
Ayat di atas dengan jelas mengisyaratkan tentang siklus kehendak menjadi baik yang tak pernah berhenti, tidak pernah putus. Waktu kecil dibawah asuhan kebaikan orang tua. Begitu beranjak dewasa, ia menyambungnya dengan berbakti. Lalu disebutnya umur empat puluh tahun, menandakan kematangan yang berkelanjutan. Saat itu ia teringat lagi kebajikan kedua orang tuanya. Maka ketika ia memohon untuk bisa bersyukur, atas karunia untuk dirinya dan orang tuanya.
Selain itu, tentu saja, di dalamnya bersyukur atas kebajikan yang bisa ia lakukan. Itu artinya ia tidak memutus jalan hidupnya untuk selalu dalam rantai kebajikan. Begitupun, ketika ia memohon hal yang sama untuk anak-anak dan cucunya. Begitu dahsyat alur siklus keshalihan itu berjalan. Nyaris tak ada yang terputus. Dari seorang bayi, hingga kelak anak cucu bagi bayi tersebut. Begitu seterusnya.
Cita-cita luhur, kehendak kuat, mimpi-mimpi untuk menjadi seorang muslim yang punya arti, tidak boleh terhenti oleh apapun. Apalagi hanya sekadar karena seekor gajah. Hiburan dan rehat ada tempatnya sendiri yang proporsional. Kita harus terus mengejar. Jangan berhenti. Jadilah seperti lelaki berakal dari Andalusia itu.Wallahu’alam
Sumber :Beranda.blogsome.com